#PEMILU2019 SERENTAK NAMUN SERAMPANGAN



Pemilihan umum calon presiden dan wakil presiden serta calon legislatif tahun 2019 telah selesai dilaksanakan, setidaknya pada tahap partisipasi pemilih pada tanggal 17 April 2019, tinggal satu tahapan lagi ada di pundak Komisi Pemilihan Umum (KPU) pusat maupun daerah untuk menghitung suara yang dikumpulkan masing-masing calon presiden maupun legislatif. Syukur apabila dalam pemilu kali ini tidak terdapat kecurangan sehingga kita tak lagi dihadapkan pada proses yang semakin menghabiskan energi bangsa yaitu sengketa pemilu di Mahkamah Konstitusi. Walaupun hal itu sebenarnya mustahil bahkan sebelum pemilihan dilaksanakan, beberapa atau mungkin semua pakar hukum tata negara sudah memperkirakan pemilu 2019 tidak akan lepas dari ketidakjujuran dan kecurangan.
Refly Harun merupakan pakar hukum tata negara yang kerap menyampaikan pendapatnya melalui media sosial, bahwa menurutnya “Money politics trs akan terjadi pd pemilu 17 April. Hukum dan pengawas tak akan kuasa. Dari sjk penyusunan UU, penegakan hukum trhdp money politics dibuat lembek dan prosedural.” Setelah membaca tweet ini yang terlintas dalam pikiran saya adalah para  calon presiden, timses, relawan, partisipan, dan pendukung masing-masing kubu sedang berjuang dalam sistem yang mereka sadar lahir dan batin merupakan sistem yang cacat dan sengaja dibuat cacat. Mereka sadar dalam perjuangan mereka akan menemukan berbagai kecurangan atau lebih parah merekalah yang akan berbuat curang dalam sistem itu, saya menyebutnya serampangan. Lalu kira-kira apa yang membuat pemilu 2019 ini serampangan?
Yang pertama menurut saya adalah presidential threshold yang menurut UU Nomor 17 tahun 2017 Pasal 222 harus mencapai 20%, yang pada ujung dramanya menghasilkan hanya 2 pasang calon presiden dan wakil presiden yang berhak berkompetisi di pemilu 2019. Apa yang salah dengan hanya ada 2 paslon saja? Jawabannya adalah Pasal 222 UU Nomor 17 Tahun 2017 tentang pemilu ini telah melahirkan si-cebong dan si-kampret, asing dan pribumi, komunis dan khilafah dan perpecahan lain yang diam-diam dinikmati oleh negara-negara lain. Masalah yang timbul kemudian dari pasal 222 ini adalah kandidat sepertinya tidak terlalu bernafsu untuk menawarkan program-program unggulan malah justru di media sosial yang lebih sering nampak adalah saling serang antara timses hingga tim cyber masing-masing paslon mengakibatkan munculnya benih kebencian antara mereka. Di media sosial juga kita bisa melihat pandangan para pendukung paslon yang sudah mulai fanatik terhadap paslon yang didukungnya, banyak pernyataan yang bias yang penting paslon saya lebih baik segala-galanya dari paslon sebelah, paslon saya lebih alim, paslon saya lebih tegas, paslon anda tak menegerti konsep-konsep rumit, etc.
Keadaan seperti itu dapat menimbulkan perpecahan, kenapa? Karena para pendukung paslon keduanya memiliki loyalitas yang sangat kuat dapat dilihat dari hasil quick qount dimana demografi para pemilih hampir sama dengan pilkada DKI yang berbecah menjadi dua kubu, jika kelamaan seperti ini bukan tidak mungkin Indonesia bisa memiliki partai-partai yang dengan jelas menyuarakan ideologinya, misalkan di amerika ada republican dan democrat yang mana mereka memeiliki dua idiologi yang berbeda yang satu konservativ dan yang satu demokrasi liberal. Tentu yang seperti ini bukan Indonesia banget, tapi ada kemungkinan terjadi bila atmosfer politik yang digaungkan terus menerus pada hal yang sama.
Head-to-head antara dua paslon ini menjadikan media sosial sebagai arena perang dengan menjelekka lawannya dan memberikan pembenaran pada paslon dukungannya, akhirnya program yang telah disusun rapi oleh timses dan para ahli nya justru hanya menjadi siluet diantara negative campaigne yang setiap hari dilancarkan masing-masing kubu.
Berapa banyak sih yang tau kalau 02 menang maka ujian nasional akan dihapuskan, berapa orang yang  tahu kalau 02 menang UU ITE akan di revisi dan menghilangkan pasal karet, sebaliknya berapa orang sih yang tahu kalau 01 menang pengangguran akan digaji oleh negara, oke mungkin banyak yang tahu tapi sudahkah mereka tahu bagaimana konsep besar dari program itu? Saya ragu, mungkin pemilih yang merupakan golongan putih (golput) lebih cermat memahami setiap visi-misi paslon sehingga memutuskan untuk tidak memilih salah satu. Saya berharap para pendukung paslon tertentu tidak menganggap remeh pemilih golput, kenapa? Menurut saya ada tiga alasan pemilih memutuskan untuk golput, pertama pemilih tersebut apatis terhadap pemilu dalam artian tidak berpartisipasi sama sekali, kedua pemilih tersebut tidak sepakat dengan program-program yang ditawarkan oleh para paslon, ketiga pemilih tersebut sepakat dengan tawaran yang diberikan oleh para paslon sehingga menurutnya siapa-pun yang terpilih sama saja. Intinya para pendukung paslon atau timses jangan  hanya menjadi timses pada saat pemilu, ketika paslon anda sudah dilantik maka anda-lah orang terdepan yang akan memberikan kritik, bukan orang terdepan yang memberikan  pujian dan pembenaran-pembenaran seperti yang kita lihat 4,5 tahun  ke belakang. Akan sangat ironi jika anda memilih untuk mencoblos salah satu capres saat pemilu tetapi golput saat pemilu selesai, alias “tidak perduli yang penting paslon gua menang”.
Oke, kembali kepada pembahasan diatas saya membahas bahwa 2 paslon itu tidak ideal karena menimbulkan perpecahan. Kemudian yang membuat pemilu ini serampangan karena diadakan serentak dengan pemilihan legislatif pada tingkat pusat dan daerah. Lagi-lagi ini akan menjadi pembelajaran bagi bangsa karena selain menimbulkan perpecahan, pemilu 2019 penuh dengan ketidakjujuran dan kecurangan-kecurangan, yang paling mainstream adalah money politic dan serangan fajar. Tak bisa di pungkiri kecurangan ini lahir karena sistem yang diciptakan oleh pembuat kebijakan di DPR dan juga presiden selain itu pengawasan yang kurang dikarenakan kurangnya SDM dan terfokusnya energi bawaslu dan panwaslu kepada pemilu presiden dan wakil presiden menjadikan  pileg adalah arena judi, dimana pemainnya tak pernah menang melainkan bandarnya yang meraup keuntungan. Caleg yang telah susah payah memperjuangkan hak rakyat di daerahnya bisa tidak terpilih karena tidak ada modal untuk beli sembako guna serangan fajar. Mau tau modal untuk menjadi caleg itu berapa? Oke tunggu ganti pertanyaannya, mau tau modal untuk lobi partai berapa? Mau tau modal agar nama anda ditempatkan sebagai caleg nomor satu berapa? Mau tau  modal untuk print poster, kartu nama, kalender, kaos, etc? mau tau modal untuk sewa orgen dangdut berapa? Tau sendiri kampanye tanpa dangdut bukan kampannye namanya kalau di Indonesia tercinta, mau tau modal untuk bayar saksi berapa? Mau tau modal untuk bayar timses berapa? Silahkan google sendiri!
Pada akhirnya akhir tahun ini akan ada presiden dan wakil presiden yang akan dilantik apakah itu 01 atau 02, dan para wakil kita di DPR RI, DPRD provinsi dan kabupaten kota, kita serahkan kepada KPU untuk menentukan hasil pemungutan suara. Lebih jauh lagi saya berharap siapapun presiden dan wakil presidennya agar dapat menyatukan dua kubu yang telah terpecah dan menurut saya sudah terlalu fanatik dengan calon masing-masing. Kedua saya berharap agar munculnya peraturan baru  yang memberikan ruang bagi publik untuk mendapatkan calon presiden dan wakil presiden tahun 2024 lebih dari dua pasangan calon. Ketiga saya berharap pengawasan pelaksanaan pemilu di daerah-daerah perlu ditingkatkan agar memberikan ruang yang sehat bagi caleg yang memiliki kredibilitas dan kemampuan memperjuangkan hak rakyat.

Comments

POPULER

CONTOH DUPLIK (PERDATA)

CONTOH REPLIK (PERDATA)

CONTOH EKSEPSI DAN JAWABAN GUGATAN

CONTOH PERMOHONAN SENGKETA PEMILU

CONTOH GUGATAN PERKARA DI PENGADILAN AGAMA

-MAKALAH- PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI SYARIAH DI PENGADILAN AGAMA

CONTOH GUGATAN PERDATA (DALAM KASUS SEDERHANA)

(MINI RISET) MELESTARIKAN LINGKUNGAN HIDUP MELALUI AMDAL

ISTANA ITU BERNAMA SUKAMISKIN RAJA MENJADI PELAYAN

CONTOH PERMOHONAN JUDICIAL REVIEW (JR)