ISTANA ITU BERNAMA SUKAMISKIN RAJA MENJADI PELAYAN
ISTANA
ITU BERNAMA SUKAMISKIN
RAJA
MENJADI PELAYAN
Tentu
teman-teman sekalian sudah mendengar kabar tentang lapas mewah bak kamar hotel
di Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin. Disebutkan bahwa ada beberapa fasilitas
mewah yang “tersembunyi” di balik jeruji besi yang dingin itu, mulai dari AC, televisi,
laptop, notebook, bahkan dinding kamar mandi yang di tempelkan wallpaper, ada
juga printer dan sejumlah uang. Tentunya ruang tahanan itu lebih mewah dibandingkan
kamar kos-kosan mahasiswa S1. Memang hanya
ada beberapa kamar tahanan namun dipastikan kamar tahanan dengan fasilitas “mewah”
tersebut merupakan tempat ditahannya para terpidana korupsi. Hal tersebut
diakui oleh mantan narapidana yang sempat mencium aroma Lapas Sukamiskin.
Hal
ini menjadi menarik saya bahas ketika beberapa teman menanyakan hal ini, kenapa bisa sampai seperti itu? Kok nggak ketahuan dari dulu? Emang semua penjara seperti itu? Saya pun
tak tahu harus menjawab dari mana. Namun karena saya belajar di fakultas hukum
merasa ada beban tersendiri untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, walaupun
saya sadar saya focus pada hukum keperdataan yang dimana sangat jauh dari kata
narapidana apalagi lapas. Namun saya akan mencoba membahasnya.
Yang
pertama terlebih dahulu, sebenarnya kata penjara seharusnya sudah tidak dipakai
untuk menyebutkan tempat penahanan para terpidana, karena istilah tersebut
sudah diganti dengan diundangkannya UU Nomor 12 Tahun 1995 Tentang
Pemasyarakatan menjadi Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) yang kelembagannya berada
di bawah langsung oleh KEMENKUMHAM. Berubahnya isitilah penjara menjadi lapas
berubah juga tujuannya, lapas tidak lagi hanya bertujuan membuat jera para pelaku
kejahatan, namun juga sebagai tempat membina mereka sehingga sebutannya-pun berubah
menjadi warga binaan. Dari pengertian itu sudah jelas pemerintah harus
beranggungjawab membina para pelaku kejahatan yang berada di lapas, sehingga
ketika sudah keluar dari lapas memiliki kreatifitas dan skill serta mental, kemudian dapat diterima kembali di tengah-tengah
masyakarat untuk ikut berpartisipasi dalam kegiatan sosial kemasyarakatan.
Kedua,
dalam sebuah lapas tentu saja ditempati oleh beberapa pelaku kejahatan yang
memiliki latar belakang kejahatan yang berbeda-beda, mulai dari pelaku
kejahatan biasa hingga kejahatan luar biasa contohnya kejahatan korupsi. Tentu saja
latar belakang kehidupan sosial ekonomi juga berbeda, ada yang melakukan
kejahatan karena ingin memenuhi kebutuhan sehari-hari misalnya mencuri ayam,
ada juga yang melakukan kejahatan karena memiliki hasrat ingin memperkaya diri
sendiri seperti korupsi. Dengan adanya perbedaan latar belakang seperti itu
sangat mungkin juga ada perbedaan kemampuan beradaptasi dengan lingkungan
lapas, mungkin pencuri ayam akan lebih cepat beradaptasi karena dia berhak atas
kebutuhan sehari-harinya seperti makan, minum, dan sebagainya yang jika di
kehidupan biasanya dia akan susah mendapatkan itu. Berbeda dengan para pelaku
korupsi yang sudah terbiasa dengan kehidupan serba ada (walaupun memang tidak semua koruptor itu orang kaya, ada juga pejabat
yang korupsi karena tidak mengerti tentang pembuatan kebijakan publik, atau
ketidakmampuan mengoprasionalkan keuangan negara).
Namun
dengan adanya perbedaan latar belakang kejatahan dan latar belakang sosial
ekonomi diatas, tidak menjadikan keduanya harus dilakukan dengan berbeda, salah
satu asas pembinaan pemasyarakatan dalam UU LAPAS disebutkan seluruh warga
binaan diberikan perlakuan dan pelayanan yang sama, artinya perlakuan yang sama
harus diterima oleh seluruh warga binaan (narapidana) di seluruh lapas di
Indonesia. Namun faktanya tak usah susah-susah membandingkan lapas
se-Indonesia, di dalam lapas sukamiskin sudah jelas terlihat adanya
diskriminasi, ada perbedaan pelayanan dan perlakuan yang diberikan oleh lapas
kepada beberapa warga binaan yang kemudian diketahui para terpidana korupsi
yang mendapatkan fasilitas mewah seperti yang sudah diberitakan. Pertanyannya,
apakah ini hanya di sukamiskin? Melihat begitu banyaknya pelanggaran di dalam
lapas itu sendiri saya rasa sebagian besar lapas di Indonesia memiliki potensi
melakukan hal yang sama seperti yang ada di sukamiskin.
Terungkapnya
kasus jual-beli fasilitas di lapas sukamiskin artinya terungkap pula kegagalan
pemerintah dalam memperlakukan para narapidana atau warga binaan itu. Yang pertama,
khusus terhadap narapidana korupsi lapas tak mampu melakukan pembinaan terhadap
mereka, malah bahkan ikut terjebak dalam arus kejahatan yang ternyata belum
juga hilang walaupun sudah di kenakan jaket oranye itu (mungkin sudah jadi soft skill bagi mereka kalau soal
suap-menyuap). Kedua, lapas tak mampu memberikan perlakuan dan pelayanan yang
sama bagi setiap warga binaan. Ketiga, lapas tak mampu menegakkan disiplin yang
harusnya menjadi hal yang paling penting karena orang yang dihadapinya adlah
mereka-mereka yang tidak mengenal disiplin.
_______________________________________________________________________
Korupsi,
Dia menjadi warisan budaya yang nyata
Tak mungkin semua setuju, termasuk beberapa dari
mereka yang pragmatis
Korupsi,
Diterima oleh local wisdom, sebagai tradisi
berkelanjutan
Tak semua setuju, kecuali bagi mereka yang rasional
melihat dunia
Korupsi,
Menghina ethics, menggerus moral, menelanjangi
kejujuran,
Yang
paling parah dia hadir dan menampakkan diri di terangnya sinar rembulan yang
suci dan di bawah gemerlap bintang yang menemani hati para musafir.
Sekiranya agan kalau tujuannya membina seorang tahanan dengan segala kegiatan positif yg terkait dengan kreatifitas dsb. Apa suka miskin juga punya kegiatan seperti itu program terkait penambahan skill dsb. Ataukah hanya sebagai hotel prodeo kelas bintang lima saja?
ReplyDelete