-MAKALAH- PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI SYARIAH DI PENGADILAN AGAMA
PENYELESAIAN
SENGKETA EKONOMI SYARI’AH DI PENGADILAN AGAMA
I.
PENDAHULUAN
Peradilan Agama sebagai
salah satu lembaga hukum di Indonesia telah eksis seiring dengan perjalanan
bangsa dari awal kemerdekaan hingga saat ini. Dalam rentang waktu tersebut,
peradilan agama telah melewati rangkaian proses transformasi kelembagaan dalam
rangka memperkuat eksistensinya dalam kerangka hukum di Indonesia.
Salah satu pijakan awal
yang krusial dalam kemapanan peradilan agama secara kelembagaan adalah
kodifikasi peraturan-peraturan tentang peradilan agama ke dalam UU No.7 tahun
1989 mengenai peradilan agama. Dengan kodifikasi tersebut, maka peradilan agama
memperoleh pengakuan hukum yang luas sebagai lembaga hukum yang otoritatif dan
independen.
Implikasi lebih jauh
dari undang-undang tersebut adalah adanya transparansi mengenai yurisdiksi peradilan
agama dalam dinamika hukum nasional, sehingga putusan atau ketetapan yang
dikeluarkan oleh pengadilan agama memiliki kekuatan hukum yang tetap. Hal
inilah yang sesungguhnya mengawali kiprah nyata peradilan agama dalam rangka
penegakan supremasi hukum secara massif.
Dalam perkembangan
selanjutnya, seiring dengan dinamika sosial-ekonomi masyarakat yang semakin
kompleks dan dinamis, kebutuhan akan pemenuhan rasa keadilan semakin menguat,
sehingga diperlukan adanya suatu peraturan perundang-undangan yang lebih
komprehensif. Peradilan agama dituntut untuk mengambil peran yang lebih jauh
dalam pemenuhan rasa keadilan di masyarakat. Satu hal yang sangat riskan dalam
konteks ini adalah masalah ekonomi syari’ah yang penanganannya belum maksimal
dan sebelum tahun 2016 belum ada regulasi yang mengatur secara langsung terkait
penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah di Indonesia, walaupun pada tahun 2008
Mahkamah Agung telah mengeluarkan SEMA Nomor 8 tahun 2008 kemudian
kewenangannya dicabut lagi melalui SEMA Nomor 8 Tahun 2010 dan memberikan
kewenangan pemeriksaan perkaraekonomi syari’ah tersebut kepada peradilan umum.
Regulasi
yang ditunggu-tunggu segenap aparatur peradilan agama itu kini telah terbit.
Pada 22 Desember 2016, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 14 Tahun 2016 tentang
Penyelesaian Perkara Ekonomi Syariah ditetapkan Ketua MA Hatta Ali. Regulasi
tersebut berlaku sejak ditetapkan. MA mengeluarkan Perma 14/2016
setelah mempertimbangkan signifikannya perkembangan dunia usaha yang
menggunakan akad-akad syariah. Faktanya, tidak sedikit terjadi sengketa di
antara para pelaku ekonomi syariah.
MA
menyadari, masyarakat membutuhkan prosedur penyelesaian sengketa yang lebih
sederhana, cepat dan biaya ringan. Namun sayangnya, ketentuan hukum acara yang
ada saat ini, baik dalam HIR maupun RBg, tidak membedakan tata cara pemeriksaan
antara nilai objek materiil yang jumlahnya besar dan kecil, sehingga
penyelesaian perkaranya memerlukan waktu yang lama.
sesungguhnya yang
menjadi substansi lembaga peradilan agama secara yuridis, yaitu menjadi wadah
bagi penyelesaian perkara-perkara hukum, terutama bagi umat muslim yang
mendambakan keadilan yang hakiki. Segalanya kembali pada lembaga peradilan
agama itu sendiri untuk senantiasa menjaga independensinya dan menjadi pilar
bagi penegakan supremasi hukum di Indonesia.
II.
RUMUSAN MASALAH
Bagaimana tata cara penyelesaian sengketa ekonomi syariah di
pengadilan agama?
III.
PEMBAHASAN
Penyelesaian
Sengketa Ekonomi Syariah di Pengadilan Agama
1) Sejarah Regulasi Kewenangan Pengadilan Agama untuk Memeriksa
Sengketa Ekonomi Syari’ah
seperti yang telah
diketahui oleh banyak orang bahwa Pengadilan Agama berwenang untuk memeriksa,
memutus dan mengadili sengketa ekonomi syari’ah berdasarkan PERMA Nomor 14
Tahun 2016, namun sebelumnya lika-liku dan pelimpahan wewenang terjadi antara
Peradilan umum dengan Peradilan Agama untuk memeriksa sengketa ekonomi
syari’ah.
Kewenangan untuk
memeriksa sengketa ekonomi syari’ah mulai diberikan kepada Peradilan Agama pada
Tahun 2008 melalui Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 8 Tahun 2008, hal
tersebut bertujuan untuk mengimbangi kondisi ekonomi syari’ah yang sudah mulai
eksis dengan dikeluarkannya undang-undang tentang perbankan syari’ah pada tahun
yang sama, khususnya untuk penegakan hukum atas perikatan-perikatan yang
terjadi yang berdasarkan pada hukum islam. Untuk mengatasi masalah-masalah yang
timbul akibat perikatan atau aqad-aqad syari’ah Peradilan Agama dianggap
sebagai lembaga peradilan yang paling representatif untuk mengambil alih
pekerjaan sebagai pemegang wewenang memeriksa sengketa ekonomi syariah
dikarenakan hakekat Peradilan Agama yang merupakan tombak keadilan bagi ummat
islam di Indonesia.
Namun pada tahun 2010
kewenangan untuk memeriksa sengketa ekonomi syari’ah oleh Peradilan Agama
dicabut oleh Mahkamah Agung melalui Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 8
Tahun 2010 dan memberikan kewenangan mengadilinya bagi Peradilan Umum (PN).
Manufer yang dilakukan Mahkamah Agung disebut-sebut karena hakim-hakim dalam
lingkup Peradilan Agama masih belum berkompeten untuk memeriksa sengketa
berkaitan dengan ekonomi dan perbankan, tidak heran karena Peradilan Agama
lebih sering memeriksa sengketa perceraian, waris islam, dan beberapa sengketa
diluar jangkauan pengetahuan ekonomi dan ekonomi islam.
Pada tahun 2016
Mahkamah Agung kembali memberikan kewenangan mengadili sengketa ekonomi
syari’ah bagi Peradilan Agama melalui Peraturan Mahkamah Agung Nomor 14 Tahun
2016. Mengapa kewenangannya diberikan lagi kepada Pengadilan Agama? Hal
tersebut karena hakim-hakim pada lingkup Pengadilan Agama telah mendapat
sertifikasi untuk memeriksa sengketa ekonomi syari’ah, artinya hakim-hakim
Pengadilan Agama pada masa ini lebih berkompeten untuk memeriksa sengketa
ekonomi syari’ah disbanding beberapa tahun kebelakang.
Dalam PERMA Nomor 14
Tahun 2016 menjelaskan tentang bagaimana cara untuk beracara dalam kasus
ekonomi syariah di Pengadilan Agama. Ada dua macam acara dalam penyelesaian
sengketa ekonomi syari’ah di Pengadilan Agama, yakni acara sederhana dan acara
biasa.
2) Tata Cara Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syari’ah melalui
Acara Sederhana
Salah satu kemajuan
dalam bidang acara perdata yang dianut oleh Pengadilan Agama aalah acara
sederhana dalam persidangan, dimana kita tahu bahwa Mahkamah Agung sebelumnya
telah mengeluarkan PERMA Nomor 2 Tahun 2015 Tentang Penyelesaian Gugatan
Sederhana, dimana hal tersebut kembali diberlakukan dalam penyelesaian sengketa
ekonomi syari’ah di Pengadilan Agama.[1]
a) Pengajuan Gugatan
·
Dapat dilakukan dengan
cara lisan, yaitu penggugat untuk menyampaikan gugatannya dapat dilakukan
dengan menceritakan kronologi kejadian seperti halnya posita dalam gugatan dan
menyampaikan tuntutannya kepada majelis hakim seperti halnya petitum di dalam
gugatan, hal ini tentunya memudahkan acara persidangan karena tergugat pun akan
dapat mengajukan jawaban dengan lisan sehingga menghemat waktu dan biaya.
·
Dapat juga diajukan
dengan tertulis, artinya seperti gugatan biasa dalam hukum acara perdata.
·
Dapat mengajukan dan
mendaftarkan gugatan secara pesan elektronik, ini diatur di dalam pasal 3 PERMA
Nomor 14 Tahun 2016. Tentunya ini
mendapatkan pro dan kontra karena pengajuan dan pendaftaran gugatan dianggap
akan mengurangi esensi suatu pengadilan yang sifatnya formal, namun akan
menghemat biaya dan waktu karena gugatan didaftarkan melaui pesan SMS atau
mungkin WhatsApp.
·
Sebagai syarat mutlak
sesuai dengan PERMA Nomor 2 Tahun 2015 untuk mengajukan gugatan sederhana
terkait sengketa ekonomi syari’ah adalah kerugian materiil yang dialami
dibatasi yaitu dibawah Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) apabila
kerugiannya melebihi jumlah tersebut maka akan diperiksa dengan melalui acara
biasa.
b) Pemeriksaan Sidang
·
Dilaksanakan sesuai
dengan PERMA Nomor 2 Tahun 2015 Tentang Penyelesaian Gugatan Sederhana.
·
Hanya terdiri dari 1
hakim (bukan majelis)
·
Para pihak bertempat
tinggal/berdomisili dalam wilayah hukum yang sama
·
Sengketa harus diputus
oleh seorang hakim yang memeriksa perkara selambat-lambatnya 25 hari sejak
dimulainya persidangan.
c) Putusan acara sederhana
·
Segala putusan dan penetapan pengadilan
dalam bidang ekonomi syariah selain harus memuat alasan dan dasar putusan juga
harus memuat prinsip-prinsip syariah yang dijadikan dasar untuk mengadili.
·
kepala
putusan/penetapan dimulai dengan kalimat BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM (tulis
dengan aksara Arab) dan diikuti dengan DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG
MAHA ESA.
·
Dalam
hal para pihak tidak hadir, jurusita menyampaikan pemberitahuan putusan paling
lambat 2 (dua) hari setelah putusan diucapkan.
·
Atas
permintaan para pihak salinan putusan diberikan paling lambat 2 (dua) hari
setelah putusan diucapkan.
d) Upaya Hukum
·
Dalam penyelesaian
sengketa ekonomi syari’ah dengan acara sederhana, maka tidak ada upaya banding
ataupun kasasi bagi parapihak.
·
Upaya hukum
satu-satunya adalah keberatan.
·
Keberatan diajukan
kepada ketua pengadilan agama atas putusan yang diberikan oleh hakim yang
memeriksa perkara.
·
Ketua pengadilan yang
menerima kebertaan selanjutnya akan menunjuk hakim senior untuk melakukan upaya
hukum (menanggapi keberatan).
3) Tata Cara Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syari’ah melalui
Acara Biasa
Sengketa ekonomi
syari’ah dapat diselesaikan juga dengan acara biasa di persidangan, berbeda
dengan acara sederhana yang telah dibahas diatas, penyelesaian sengketa dengan
acara biasa sebenarnya hampir sama dengan pemeriksaan perkara perdata pada
peradilan umum yang tunduk pada HIR/Rbg dan Rv. Namun disamping itu ada sedikit
perbedaan yag menjadikan PERMA Nomor 14 Nomor 2016 ini terbilang sudah
mengikuti perkembangan jaman.
a) Pemanggilan Para Pihak
·
Pemanggilan para pihak
dilakukan berdasarkan ketentuan di dalam Rv,
·
Pemanggilan para pihak
yang berada diluar yurisdiksi pengadilan, maka mengikuti ketentuan SEMA Nomor 6
Tahun 2014,
·
Pemanggilan para pihak
dapat dilakukan melalui teknologi informasi, selama disetuji para pihak.
b) Hakim Pemeriksa Perkara dalam sengketa ekonomi syari’ah
dengan acara biasa
·
sekurang-kurangnya 3
orang hakim (majelis),
·
terdiri dari satu hakim
ketua dan lainnya hakim anggota,
·
hakim yang memeriksa
sengketa ekonomi syari’ah harus tersertifikasi sebagai hakim ekonomi syari’ah
seperti yang diatur di dalam PERMA Nomor 5 Tahun 2016.
c) Upaya Damai
·
Sebagaimana perkara
perdata harus dilakukan upaya damai oleh hakim sebelum pemeriksaan perkara
dimulai,
·
Prosedur upaya damai
pada sengketa ekonomi syari’ah tunduk pada PERMA Nomor 1 Tahun 2016
d) Pembuktian
Dalam PERMA Nomor 14 Tahun 2016
menmberikan ijin bagi para pihak dan juga hakim untuk melakukan pemeriksaan
ahli melalui bantuan teknologi informasi, artinya dalam agenda keterangan ahli
maka dapat dilakukan video call dalam
ruang sidang. Konsep ini sebenarnya telah ada daalam pemeriksaan perkara di
Mahkamah Konstitusi namun baru eksis dalam Pengadilan Agama.
e) Putusan dan Pelaksanaan Putusan
·
Isi putusan adalah sama
seperti putusan pada pemeriksaan dengan acara biasa yang telah dibahas diatas,
·
Pelaksanaan putusan perkara ekonomi
syariah, hak tanggungan dan fidusia berdasarkan akad syariah dilakukan oleh
Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama.
·
Pelaksanaan putusan arbitrase syariah
dan pembatalannya, dilakukan oleh Pengadilan dalam lingkungan peradilan agama.
·
Tata
cara pelaksanaan putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengacu pada
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa.
IV.
KESIMPULAN
Penyelsaian sengketa
ekonomi syari’ah diatur dalam PERMA Nomor 14 Tahun 2016 yang memberikan
wewenang kepada Pengadilan agam untuk memeriksa, memutus dan mengadili perkara.
Dalam sejarahnya kewenangan untuk memeriksa sengketa ekonomi syari’ah dimiliki
Pengadilan Agama sejak Tahun 2006 namun pernah dicabut keweangannya pada tahun
2010, setelah itu pada tahun 2016 kewenangannya diberikan lagi kepada
Pengadilan Agama.
Dalam melakukan
pemeriksaan gugatan dalam snegketa ekonomi syari’ah, maka ada dua acara yang
menjadi alternatif, yaitu dengan acara biasa yang diatur di dalam PERMA Nomor 2
Tahun 2015 dan juga dengan melaui acara biasa.
DAFTAR
PUSTAKA
WEB
PERATURAN
PERMA Nomor 14 Tahun 2016
Comments
Post a Comment