MENILAI PERMA NOMOR 2 TAHUN 2015
Menilai
PERMA Nomor 2 Tahun 2015 Tentang Penyelesaian Gugatan Sederhana
Penerbitan salah satu produk hukum MA berupa Peraturan Mahkamah Agung Republik
Indonesia Nomor 2 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana
(PERMA). Terbitnya PERMA ini, menurut MA, dalam rangka menyongsong era
perdagangan bebas ASEAN yang diprediksi akan banyak menimbulkan sengketa
perkara-perkara bisnis skala kecil yang berujung ke pengadilan.
Kebijakan
baru ini sudah banyak dianut oleh peradilan di luar negeri, Gugatan Sederhana
ini diadopsi dari sistem peradilan small claim court yang
salah satunya diterapkan di London, Inggris. Prosedur
baru ini seolah membuka pintu baru bagi para pencari keadilan di Indonesia.
PERMA ini adalah terobosan baru dalam sistem peradilan Indonesia. Namun
terobosan ini pun memiliki kekurangan dan kelebihan, yaitu:
A. Kekurangan
PERMA Nomor 2 Tahun 2015
1) PERMA
Nomor 2 Tahun 2015 hanya diperuntukkan atau diberikan kewenangannya bagi Peradilan
umum saja, sedangkan pengadilan di luar pengadilan umum seperti Pengadilan
agama tidak berwenang untuk melaksanakan penyelesaian gugatan sederhana,
padahal selain memeriksa perkara terkait perceraian yang selama ini memang
dianggap sebagai tugas utama Pengadilan Agama juga memeriksa perkara terkait
sengketa ekonomi syariah yang dimana kasus nya juga tidak menutup kemungkinan
memiliki kerugian materiil diatas Rp. 200.000.000,-
2) Pada
Pasal 5 angka 3 PERMA Nomor 2 Tahun 2015 mengatakan bahwa penyelesaian sengketa
wajib diputus dalam waktu 25 hari, hal tersebut tentu memberatkan tergugat
dalam persidangan sederhana tersebut, karena tergugat memiliki waktu yang lebih
sedikit untuk menyusun surat-surat serta mengumpulkan bukti yang dimilikinya,
dibandingkan penggugat yang sebelumnya telah mengumpulkan bukti-bukti.
3) Para
pihak tidak dapat memilih acaranya sendiri, artinya pengadilan menurut PERMA
Nomor 2 Tahun 2015 berwenang menentukan acara tersebut masuk dalam acara
persidangan sederhana atau biasa. Hal tersebut terlihat didalam prosedur
pemeriksaan pendahuluan yang mirip dengan sistem peradilan PTUN.
4) Hakim
tunggal, berbeda dengan persidangan perkara biasa yang menempatkan 3 sampai 7
hakim yang disebut majelis. Hal tersebut juga bertentangan dengan Undang-Undang
Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang memerintahkan hakim yang
memeriksa suatu perkara perdata minimal 3 hakim (Majelis) bukan hakim tunggal.
Selain itu keberadaan hakim tunggal bisa saja memberatkan para pihak yang tidak
sependapat terhadap sistem tersebut, namun tidak ada upaya lain yang ditawarkan
PERMA Nomor 2 Tahun 2015 kepada para pihak untuk melakukan keberatan tersebut.
5) Para
pihaknya harus dalam wilayah hukum yang sama, artinya apabila perkara tersebut
melibatkan para pihak yang berbeda wilayah hukum contohnya perkara antara orang
bertempat tinggal di Semarang dengan orang yang bertempat tinggal di Yogyakarta
tidak dapat mengajukan gugatan sederhana.
B. Kelebihan
dari PERMA Nomor 2 tahun 2015
1) Adanya
PERMA Nomor 2 Tahun 2015 ini berarti mengimplementasikan asas yang dianut oleh
pengadilan di Indonesia yaitu asas peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya
ringan (Simple, Quick and Low Cost)
yang artinya perkara yang dimaksud dalam PERMA Nomor 2 Tahun 2015 harus dapat
diselesaikan dalam waktu 25 hari sehingga biaya yang dikeluarkan pun akan lebih
ringan dan lebih sederhana karena hanya menempatkan seorang hakim (bukan
majelis) untuk memeriksa perkara.
2) Adanya
tahapan pemeriksaan pendahuluan sebelum membacakan gugatan memiliki keuntungan
bagi penggugat karena selain gugatan tersebut diperiksa apakah masuk dalam
acara biasa atau sederhana, penggugat juga bisa mengevaluasi gugatannya apakah
telah memenuhi syarat-syarat pengajuan gugatan atau belum.
3) Tidak
adanya upaya hukum banding, kasasi dan seterusnya. Hal tersebut menurut kami
positip walaupun dimungkinkan adanya perdebatan, karena dengan adanya aturan
mengenai pengajuan keberatan terhadap putusan perkara sederhana maka
perkara-perkara yang diajukan upaya hukum banding dan kasasi tidak aka terlalu
banyak, sehingga perkara yang jumlah kerugiannya berada dibawah Rp.
200.000.000,- tidak memenuhi antrian di pengadilan tinggi dan juga Mahkamah
Agung yang selama ini menurut pengamat terlalu banyak dan sebenarnya dapat
diselesaikan pada pengadilan tingkat kabupaten/kota.
C. Kesimpulan
dan Saran
a) Kesimpulan
Terobosan Mahkamah Agung dengan
mengeluarkan PERMA Nomor 2 Tahun 2015 Tentang Penyelesaian Gugatan Sederhana
merupakan langkah untuk merespon kemajuan teknologi dan ekonomi sehingga
diperlukan peraturan yang mengatur pengadilan serta hakim-hakimnya untuk
menyelesaikan perkara yang jumlah kerugian materiilnya berjumlah di bawah Rp.
200.000.000,-.
Yang menonjol dari PERMA Nomor 2 Tahun
2015 adalah proses penyelesaian nya dimana sangat mengedepankan asas peradilan
yang sederhana, cepat dan biaya murah dengan menetapkan perkara sederhana harus
selesai selambat-lambatnya 25 hari.
b) Saran
PERMA Nomor 2 Tahun 2015 menurut kami
belum terlalu lengkap dimana tidak ada upaya hukum yang jelas bagi penggugat apabila
dalam pemeriksaan pendahuluan gugatannya dinyatakan tidak memenuhi unsur
gugatan sederhana.
Selain itu Mahkamah Agung harus
memperhatikan perkara-perkara yang biasanya terjadi yang menimbulkan kerugian
sering sekali terjadi antara parapihak yang berbeda domisili, sedangkan di
dalam PERMA ini hanya memperbolehkan perkara antara mereka yang berdomisili
sama.
Catatan selanjutnya adalah penunjukan hakim tunggal sebenarnya melanggar Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan hakim yang memeriksa perkara perdata harus berupa majelis yakni minimal 3 orang hakim.
Comments
Post a Comment