CHECK AND BALENCES



Sistem Check and Balances dan Pengaplikasiannya di Indonesia

Dalam demokrasi dikenal konsep Rechstaat (negara hukum). Rechtstaat (negara hukum) diartikan sebagai negara yang penyelenggaraan pemerintahannya berdasarkan prinsip- prinsip hukum untuk membatasi kekuasaan pemerintah. Menurut Frederik Julius Stahl, salah satu unsur dalam konsep Rechstaat adalah negara didasarkan kepada Trias Politica (pemisahan kekuasaan negara atas kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif dan kekuasaan yudisial). Menurut Carles de Secondat Baron de Labriede et de Montesquieu:
a.Kekuasan Legislatif adalah sebagai pembuat undang- undang;
b.Kekuasaan Eksekutif adalah sebagai pelaksana undang- undang;
c.Kekuasaan Yudikatif adalah kekuasaan untuk menghakimi.        

Pernyataan bahwa Indonesia ialah negara yang berdasarkan hukum (rechtsstaat) dan tidak berdasarkan kekuasaan belaka (machtsstaat) serta pemerintahan berdasar atas sistem konstitusi (hukum dasar) dan tidak bersifat absolutisme, sebagaimana termuat dalam Penjelasan UUD 1945 sebelum perubahan, telah dimuat menjadi materi norma dalam batang tubuh UUD 1945 hasil perubahan. Hal demikian dapat dilihat sebagai pergeseran dari sistem supremasi parlemen (MPR merupakan lembaga tertinggi negara) menjadi sistem supremasi konstitusi (konstitusi ditempatkan sebagai hukum yang tertinggi). Dengan demikian konstitusi menjadi sumber legitimasi dari peraturan perundang-undangan yang dibentuk dan berlaku.
Pernyataan bahwa kedaulatan di tangan rakyat yang dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang Dasar dan pernyataan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum, dapat dilihat sebagai pendirian yang tegas bahwa prinsip penyelenggaraan negara secara demokratis didasarkan pada konstitusi (constitutional democracy). Demikian pula negara hukum yang dianut adalah bersifat demokratis (democratische rechtstaat), yang diartikan bahwa proses pembentukan hukum berlangsung dengan partisipasi warga negara.
Check and balances bertujuan untuk membatasi kekuasaan pemerintah (eksekutif) seperti yang dikemukakan Julius Stahl dimana sistem ini dikemukakan pertama kali oleh Montesquieu. Gagasan ini lahir sebagai hasil dari ajaran klasik tentang pemisahan kekuasaan (separation of power), dan pertama kali diadopsi ke dalam konstitusi negara oleh Amerika Serikat (US Constitution 1789). Berdasarkan ide ini, suatu negara dikatakan memiliki sistem check and balances yang efektif jika tidak ada satu pun cabang pemerintahan yang memiliki kekuasaan dominan, serta dapat dipengaruhi oleh cabang lainnya. Secara tersirat dapat dikatakan bahwa hakikat dari prinsip check and balances adalah menjamin adanya kebebasan dari masing-masing cabang kekuasaan yang satu terhadap kekuasaan lainnya. Di Indonesia, pelaksanaan prinsip check and balances kurang seimbang selama masa Orde Lama dan Orde Baru. Itulah sebabnya amendemen UUD 1945 dilakukan untuk menciptakan tata hubungan yang lebih harmonis dan fair.
Salah satu tuntutan gerakan reformasi 1998 adalah diadakannya perubahan terhadap UUD Tahun 1945. Sebelum dilakukan amandemen, UUD 1945 substansinya dinilai oleh beberapa ahli hukum mengandung banyak kelemahan. Hal itu dapat diketahui antara lain, kekuasaan eksekutif terlalu besar tanpa disertai prinsip checks and balances yang memadai. Dengan kondisi tersebut menguntungkan bagi siapapun yang menduduki jabatan presiden. Menurut istilah Soepomo hal tersebut: “concentration of power and responsibility upon the president”.
Reformasi 1998 telah mempengaruhi kehidupan bernegara, dimana dalam tataran lembaga tinggi negara, muncul kesadaran untuk memperkuat proses checks and balances antara cabang-cabang kekuasaan negara. Perwujudan prinsip checks and balances yang termuat dalam UUD 1945 pasca amandemen, dimulai dengan berubahnya kelembagaan dan kewenangan MPR. Sebelumnya, MPR yang merupakan penjelmaan seluruh rakyat, merupakan lembaga tertinggi dengan kekuasaan tak terbatas. Melalui MPR kekuasaan rakyat itu seolah-oleh dibagi-bagi secara vertical kepada lembaga-lembaga negara yang ada di bawahnya.
Amandemen UUD 1945 merubah kelembagaan dan kewenangan MPR, sebagaimana terbaca dalam Pasal 3, yang berbunyi sebagai berikut:
1.    Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar.
2.    Majelis Permusyawaratan Rakyat melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden.
3.    Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dapat memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut Undang-Undang Dasar.
Dengan ketentuan baru tersebut, terjadi perubahan fundamental dalam sistem ketatanegaraan kita, yaitu sistem yang vertikal hierarkis dengan prinsip supremasi MPR menjadi horizontal fungsional dengan prinsip saling mengimbangi dan saling mengawasi antar lembaga negara (checks and balances).
Perubahan UUD 1945 juga telah mengubah kekuasaan membentuk undang-undang, dari yang semula dipegang oleh presiden, beralih menjadi wewenang DPR. Disebutkan dalam Pasal 20 Ayat (1) Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang. Sementara Pasal 5 Ayat (1) Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Perubahan dalam Pasal 5 dan Pasal 20 dipandang sebagai permulaan terjadinya pergeseran executive keavy ke arah legislatif heavy. Sementara itu, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) juga dapat mengajukan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah seperti yang diatur dalam Pasal 22D UUD 1945.
Pengaturan mengenai kekuasaan dalam membentuk undang-undang dalam UUD 1945 menunjukkan adanya keterlibatan tiga lembaga tinggi negara, yaitu DPR, Presiden dan DPD. Dengan demikian, diharapkan akan terwujud checks and balances dalam pembentukan undang-undang. Walaupun kekuasaan pembentukan undang-undang ada pada DPR, tetapi Presiden dan DPD dapat berperan dalam mengawasi dan mengimbangi dalam pembentukan sebuah undang-undang. Dengan pergeseran kewenangan membentuk undang-undang ini maka sesungguhnya ditinggalkan pula teori “pembagian kekuasaan” (distribution of power) dengan prinsip supremasi MPR menjadi “pemisahan kekuasaan” (sparation of power) dengan prinsip checks and balances sebagai ciri perekatnya.
Mencermati pergeseran dalam pola pembentukan undang-undang di atas, sadar akan keberpihakkan UUD 1945, sebagian besar kekuatan politik di DPR menjadikan fungsi legislasi sebagai sarana untuk melanggengkan kepentingan politik. Fungsi pembentukan undang-undang oleh DPR sering digunakan sebagai instrument untuk memproduksi undang-undang yang mengukuhkan supremasi DPR dan bukan dilandasi kebutuhan rasional. Sebagai wujud penerapan prinsip checks and balances dalam kaitan pembentukan undang-undang, UUD 1945 memberikan wewenang kepada Mahkamah Konstitusi (MK) untuk menguji materiil suatu undang-undang terhadap UUD 1945, seperti diatur dalam Pasal 24C UUD 1945. Hal ini merupakan bentuk checks and balances antara kekuasaan legislatif dan kekuasaan yudikatif.
Prinsip checks and balances juga diterapkan dalam hubungan antara eksekutif dan yudikatif. Dalam Pasal 14 Ayat (1) Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung. Alasan perlunya Presiden memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung (MA) dalam pemberian grasi dan rehabilitasi karena hal itu merupakan proses yustisial. MA sebagai lembaga peradilan tertinggi  adalah lembaga yang tepat dalam memberikan pertimbangan kepada Presiden, karena grasi menyangkut putusan hakim, sedangkan rehabilitasi tidak selalu terkait dengan putusan hakim.
Berdasarkan pola hubungan antara legislatif, eksekutif dan yudikatif, operasionalisasi dari teori checks and balances dilakukan melalui cara-cara sebagai berikut :
  1. Pemberian kewenangan terhadap suatu tindakan kepada lebih dari satu cabang pemerintahan. Misalnya kewenangan pembuatan undang-undang yang diberikan kepada pemerintah dan parlemen sekaligus. Jadi terjadi overlapping yang dilegalkan terhadap kewenangan pejabat negara antara satu cabang pemerintahan dengan cabang pemerintahan lainnya.
  2. Pemberian kewenangan pengangkatan pejabat tertentu kepada lebih dari satu cabang pemerintahan. Banyak pejabat tinggi negara dimana dalam proses pengangkatannya melibatkan lebih dari satu cabang pemerintahan, misalnya melibatkan pihak eksekutif maupun legislatif.
  3. Upaya hukum impeachment dari cabang pemerintahan yang satu terhadap cabang pemerintahan yang lainnya.
  4. Pengawasan langsung dari satu cabang pemerintahan terhadap cabang pemerintahan lainnya, seperti pengawasan terhadap cabang eksekutif oleh cabang legislatif dalam hal penggunaan budget negara.
  5. Pemberian kewenangan kepada pengadilan sebagai pemutus kata terakhir (the last word) jika ada pertikaian kewenangan antara badan eksekutif dengan legislative.
ketiga cabang kekuasaan yaitu legislatif, eksekutif dan yudikatif memiliki kedudukan yang sederajat dan saling mengontrol satu sama lain sesuai dengan prinsip checks and balances. Namun demikian, diharapkan tidak terjadi persaingan atau perselisihan yang mengarah pada tindakan saling menjegal antar lembaga tinggi negara yang didasari kepentingan individu atau kelompoknya. Bila hal itu terjadi tentunya akan merusak dan menghambat jalannya pemerintahan secara umum dan akan menyimpang dari tujuan negara.


Comments

POPULER

CONTOH DUPLIK (PERDATA)

CONTOH REPLIK (PERDATA)

CONTOH EKSEPSI DAN JAWABAN GUGATAN

CONTOH PERMOHONAN SENGKETA PEMILU

CONTOH GUGATAN PERKARA DI PENGADILAN AGAMA

-MAKALAH- PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI SYARIAH DI PENGADILAN AGAMA

CONTOH GUGATAN PERDATA (DALAM KASUS SEDERHANA)

(MINI RISET) MELESTARIKAN LINGKUNGAN HIDUP MELALUI AMDAL

ISTANA ITU BERNAMA SUKAMISKIN RAJA MENJADI PELAYAN

CONTOH PERMOHONAN JUDICIAL REVIEW (JR)