HUKUM DAN PERSAINGAN USAHA
Bentuk-bentuk
Persaingan Usaha Tidak Sehat
Berlakunya
Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan
Usaha Tidak Sehat sebagai tindak lanjut hasil Sidang Istimewa MPR-RI yang
digariskan dalam Ketetapan MPR-RI No. X/MPR/1998 tentang Pokok-Pokok Reformasi
Pembangunan dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional, maka
Indonesia memasuki babak baru pengorganisasian ekonomi yang berorientasi pasar.
Di
bawah ini dipaparkan secara ringkas substansi dari UU No. 5 / 1999 sebagaimana
berikut.
a.
Larangan terhadap dua atau lebih pelaku usaha untuk melakukan perjanjian yang bersubstansi:
·
Praktek
Oligopoli (perjanjian dua pelaku usaha atau lebih untuk menguasai produksi dan atau pemasaran suatu
barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan
praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, Pasal 4).
·
Penetapan
Harga (perjanjian dua pelaku usaha atau lebih untuk: menetapkan harga (kecuali dalam usaha
patungan atau berdasar undang-undang); diskriminasi
harga; membuat harga di bawah harga pasar; atau melarang penjualan kembali dengan harga
yang lebih rendah dari harga yang ditetapkan, Pasal 5-8).
·
Pembagian
wilayah pemasaran (perjanjian dua pelaku usaha atau lebih untuk menetapkan wilayah pemasaran atau
alokasi pasar sehingga dapat mengakibatkan
praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, Pasal 9).
·
Pemboikotan
(perjanjian dua pelaku usaha atau lebih untuk menghalangi pelaku usaha lain untuk melakukan
usaha yang sama atau menolak untuk menjual
produk pelaku usaha lain, Pasal 10)
·
Kartel (perjanjian dua pelaku usaha atau lebih untuk
mempengaruhi harga dengan mengatur produksi yang dapat mengakibatkan praktek
monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, Pasal 11).
·
Trust (perjanjian dua pelaku usaha atau lebih untuk membentuk
gabungan perusahaan dengan tetap mempertahankan kelangsungan perusahaan
masingmasing dengan tujuan untuk mengontrol produksi dan atau pemasaran
sehingga dapat mengakibatkan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat,
Pasal 12).
·
Oligopsoni (perjanjian dua pelaku usaha atau lebih untuk
menguasai pasokan agar dapat mengendalikan harga yang dapat mengakibatkan
praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, Pasal 13).
·
Integrasi Vertikal (perjanjian dua pelaku usaha atau
lebih untuk menguasai rangkaian produksi berkelanjutan yang dapat mengakibatkan
persaingan usaha tidak sehat dan merugikan masyarakat, Pasal 14).
·
Perjanjian Tertutup (perjanjian dua pelaku usaha atau
lebih yang berisi syarat bahwa penerima pasokan hanya akan memasok atau tidak
akan memasok produk tersebut kepada pelaku usaha lain; harus bersedia membeli
produk lainnya dari pemasok; atau mengenai harga atau potongan harga yang akan
diterima bila bersedia membeli produk lain atau tidak membeli produk yang sama
dari pelaku usaha lain, Pasal 15).
·
Perjanjian dengan Pihak Luar Negeri (perjanjian dengan
pelaku usaha luar negeri yang dapat mengakibatkan praktek monopoli dan
persaingan usaha tidak sehat, Pasal 16).
b. Larangan terhadap suatu kegiatan atau tindakan sebagai
berikut:
·
Monopoli (pelaku usaha dilarang melakukan penguasaan atas
produksi dan pemasaran yang dapat mengakibatkan praktek monopoli dan persaingan
usaha tidak sehat, Pasal 17).
·
Monopsoni (pelaku usaha dilarang menguasai penerimaan
pasokan atau menjadi pembeli tunggal yang dapat mengakibatkan praktek monopoli
dan persaingan usaha tidak sehat, Pasal 18).
·
Penguasaan Pasar (dilarang melakukan satu atau beberapa
kegiatan, sendiri atau bersama yang dapat mengakibatkan praktek monopoli dan
persaingan usaha tidak sehat berupa: menghalangi
pelaku usaha lain untuk melakukan usaha yang sama; atau menghalangi konsumen
untuk bertransaksi dengan pelaku usaha tertentu; atau membatasi peredaran dan
penjualan produk; atau melakukan diskriminasi (Pasal 19); melakukan jual rugi
untuk menyingkirkan pesaing (Pasal 20); dengan curang menetapkan biaya produksi
dan biaya lainnya (Pasal 21)).
·
Persekongkolan (dilarang melakukan tender kolusif (Pasal
22), bersekongkol mendapatkan rahasia perusahaan pesaing (Pasal 23),
bersekongkol untuk menghambat produksi dan atau pemasaran pesaing (Pasal 24)).
c. Penyalahgunaan Posisi Dominan:
Dilarang menggunakan posisi dominan secara langsung
maupun tidak untuk menetapkan syarat perdagangan guna menghalangi konsumen;
membatasi pasar dan pengembangan teknologi; atau menghambat pesaing memasuki
pasar bersangkutan. Pasal 25.
Jabatan rangkap (dilarang merangkap jabatan
direktur/komisaris di dua perusahaan atau lebih bila perusahaan lainnya; berada
dalam pasar bersangkutan yang sama; atau memiliki keterkaitan dalam bidang dan
jenis usaha; secara bersama menguasai pangsa pasar; yang dapat mengakibatkan praktek
monopoli dan persaingan usaha tidak sehat), Pasal 26.
Pemilikan saham (dilarang pemilikan saham mayoritas pada
beberapa perusahaan sejenis apabila mengakibatkan satu atau sekelompok pelaku
usaha menguasai lebih dari 50% pangsa pasar; atau dua atau tiga pelaku usaha
atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 75% pangsa pasar), Pasal 27. Penggabungan,
peleburan, dan pengambilalihan (dilarang bila dapat mengakibatkan praktek
monopoli dan persaingan usaha tidak sehat dan ada kewajiban notifikasi bila
mengakibatkan penguasaan aset atau nilai tertentu), Pasal 28 dan 29.
d. Undang-undang ini menetapkan pembentukan Komisi
Pengawas Persaingan Usaha yang memiliki kewenangan yang signifikan untuk tidak
hanya mengawasi pelaksanaan undang-undang ini tetapi juga untuk melakukan tugas
penilaian perjanjian, kegiatan usaha, penyalahgunaan posisi dominan, melakukan
tindakan berdasar kewenangan, memberi saran dan pertimbangan kepada pemerintah
serta berwenang untuk menerima laporan,
penelitian, penyelidikan, memanggil pelaku usaha dan saksi, meminta keterangan
institusi pemerintah, memutuskan dan menjatuhkan sanksi administratif yang
berkaitan dengan kasus dugaan pelanggaran undang-undang ini. Pasal 30-37.
e. Undang-undang ini juga menetapkan suatu tata cara
khusus dalam penanganan perkara persaingan usaha. Dan terdapat ketentuan acara
khusus bagi lembaga peradilan dalam menangani kasus persaingan usaha seperti
ditiadakannya upaya banding ke Pengadilan Tinggi yang ada adalah upaya kasasi ke
Mahkamah Agung terhadap putusan Pengadilan Negeri atas kasus persaingan usaha.
Pasal 38-46.
f. Sanksi dalam undang-undang ini dibagi dua yaitu sanksi
administratif (kewenangan KPPU) dan sanksi pidana (kewenangan peradilan umum).
Sanksi administratif bisa terdiri dari pembatalan perjanjian, penghentian
integrasi vertikal, kegiatan usaha, dan penyalahgunaan posisi dominan,
pembatalan penggabungan, peleburan dan pengambilalihan, penetapan ganti rugi,
dan atau pengenaan denda sebesar antara Rp 1 miliar sampai Rp 25 miliar.
Sedangkan untuk sanksi pidana dapat terdiri dari pidana pokok berupa pidana denda
sebesar Rp 1 miliar sampai Rp 100 miliar rupiah dengan pidana kurungan antara 3
sampai 6 bulan serta pidana tambahan berupa pencabutan izin usaha, larangan untuk
menduduki posis direksi atau komisaris selama 2 sampai 5 tahun, atau penghentian
kegiatan atau tindakan usaha yang menyebabkan kerugian. Pasal 47-49.
g. Undang-undang ini juga menetapkan adanya pengecualian
berlakunya aturan dalam undang-undang (Pasal 50-51) untuk:
·
Perbuatan dan atau perjanjian itu untuk melaksanakan
peraturan perundang-undangan yang berlaku;
·
Perjanjian yang terkait dengan Hak atas Kekayaan Intelektual
dan waralaba;
·
Yang berkaitan dengan standar teknis;
·
Perjanjian dalam kerangka keagenan;
·
Perjanjian kerjasama penelitian;
·
Perjanjian internasional yang telah diratifikasi;
·
Perjanjian dan atau perbuatan dalam rangka ekspor dengan
tidak mengganggu pasokan dalam negeri;
·
Pelaku usaha kecil;
·
Kegiatan usaha koperasi yang melayani anggotanya.
·
Kegiatan yang dilakukan oleh BUMN atau badan atau lembaga
yang dibentuk pemerintah.
·
Peraturan Perundang-undangan Umum dan Sektoral
Bersubstansi Persaingan Usaha
Comments
Post a Comment